Sebenarnya menjaga sikap dan tindak tanduk positif itu tidak hanya tanggung jawab para guru dan keluarganya, tetapi semua orang, Guru yang selalu mengusahakan keluarganya menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan dengan sebuah contoh, adalah cerminan komitmen dan pendalaman makna dari seorang guru. Sang guru harus berusaha agar keluarganya baik dan tidak korupsi agar ia dapat mengajari kepada murid-muridnya yang merupakan remaja generasi penerus bangsa memiliki moral dan ahlak baik dan tidak korupsi, berusaha tidak berbohong agar murid-muridnya sebagai remaja yang baik tidak menjadi pendusta, tidak terjaebak dalam kenakalan remaja. |
Selasa, 15 November 2011
Kenakalan Remaja, Peran Orang Tua, Guru dan Lingkungan
Why Use a Math Tutor?
You should have heard of math tutoring prior to but do you know what the real objective powering it is? The objective is to effectively guidebook them in the topics that they have trouble knowledge. Science topics and math are the most fundamental and critical topics. Lower marks in these topics can bring down the over-all quality of the college student. Although the subjects are taught in the classroom as well, at times it is not sufficient for all pupils. These who are gradual learners may well uncover it complicated to grasp the topics when taught in a classroom setting.
Finding non-public tutoring lessons are enormously helpful for the students. It is like an asset for youngsters of all ages. Just like the moms and dads keep track of and management television viewing, foodstuff consumption and other actions of their youngsters, they must also consider treatment to make sure that they get a proper comprehending of the robust science and math concepts. If the child's grades are falling then it is important for mother and father to recognize the want for additional enable. May be the baby is not at ease studying in a group. In this kind of situations, you should contemplate selecting a non-public math or science tutor.
There can be a number of aspects can trigger a downfall in the grades of a student. But, there is no want to get worried. An expert and skilled private residence tutor can pull your kid out of the blockages and assist him/ her excel in scientific tests. Numerous instances kids just come to feel way too shy to ask doubts in a course. But, in a private coaching, he can open up up with the tutor and consult as many concerns as he wishes. The professional tutors also have the knowledge and know-how to get into the brain of the pupil and detect the challenge. They are able of interacting in the proper way with the pupils and establish the correct connection that allows the pupils to get over dread of the topics and discover simply.
When seeking for a private tutor, you need to think about many critical factors. 1st of all, it is important to examine the educational qualification, practical experience and other qualifications of the man or woman. Secondly, he should have a satisfying temperament and an fascination to enable college students prevail over their worry of math or science. Thankfully, you can now appearance for a tutor in your own locality with the assist of the World-wide-web. You just need to filter the listing with your region title and the subject in which your little one requires support, and you will get a list of pros accessible in your spot.
As a parent, you should have heard you kid say that he or she doesn't like math or math is a tedious subject. This is mainly due to the previous instructing approaches that are nonetheless followed by the classroom teachers. Many instances, the lecturers are tremendously responsible for the disinterest in pupils pertaining to math. The benefits of the subject in our daily life are unable to be underestimated. However, numerous moms and dads come across it quite robust to instruct math to their children. In these kinds of instances, you have to contemplate employing a good non-public math tutor in your locality who will assist your child delight in studying figures.
There are several benefits of choosing a non-public math tutor in your region. Very first, you will help save the traveling time as the specialist will come to your property. You can give that extra time for your kid to participate in the extracurricular activities. Secondly, the non-public house tutoring is not like classroom instruction exactly where the instructor has to concentrate on numerous pupils at a time. Right here, there is just a person professional and one youngster interaction. Your little one can consult as numerous issues he would like, and get his doubts clarified with no any hesitations or the worry of getting laughed at.
There are various websites ended up you will locate personal house tutors on-line. And the largest advantage is that you can come across one in your possess locality. You don't even have to go outside the house or inquire anybody in buy to discover a very good math expert. You can now come across it on the internet with the aid of the Web. Even so, just before you employ one particular, there are a number of crucial items that you must look at. The skilled need to have solid qualifications and great experience in the area of instructing.
Just being very certified isn't enough to be an excellent tutor. The particular person need to have the skill to produce an fascination in the pupils for the subject. He should be in a position to make challenging matters appear to be easy with the help of true everyday living illustrations. When the students end fearing the subject and acquire an fascination for it, studying the subjects grow to be significantly less difficult. So, if your kid is having troubles with math matters taught in school then consider employing a personal tutor who can aid your youngster prevail over his fears. You will find professionals in diverse subjects this sort of as algebra, stats, trigonometry, geometry and so on. These tutors have mastery in these locations and they can aid you little one master these topics as well.
Kenakalan Remaja Atau Kenakalan Orang Tua
Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja makin meluas. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Para pakar psikolog selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Kenakalan Remaja, seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus. Sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Masalah kenalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semkain lancar, cepat dan mudah. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat.
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada." (sumber Whandi.net/1 jan 1970).
Kenakalan remaja, merupakan salah si anak? atau orang tua? Karena ternyata banyak orang tua yang tidak dapat berperan sebagai orang tua yang seharusnya. Mereka hanya menyediakan materi dan sarana serta fasilitas bagi si anak tanpa memikirkan kebutuhan batinnya. Orang tua juga sering menuntut banyak hal tetapi lupa untuk memberikan contoh yang baik bagi si anak. Sebenarnya kita melupakan sesuatu ketika berbicara masalah kenakalan remaja, yaitu hukum kausalitas. Sebab, dari kenakalan seorang remaja selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan yang jarang memerhatikan faktor terdekat dari lingkungan remaja tersebut dalam hal ini orangtua. Kita selalu menilai bahwa banyak kasus kenakalan remaja terjadi karena lingkungan pergaulan yang kurang baik, seperti pengaruh teman yang tidak benar, pengaruh media massa, sampai pada lemahnya iman seseorang.
Ketika kita berbicara mengenai iman, kita mempersoalkan nilai dan biasanya melupakan sesuatu, yaitu pengaruh orangtua. Didikan orangtua yang salah bisa saja menjadi faktor sosiopsikologis utama dari timbulnya kenakalan pada diri seorang remaja. Apalagi jika kasus negatif menyerang orangtua si remaja, seperti perselingkuhan, perceraian, dan pembagian harta gono-gini. Mungkin kita perlu mengambil istilah baru, kenakalan orangtua.
Orang tua, sering lupa bahwa prilakunya berakibat pada anak-anaknya. Karena kehidupan ini tidak lepas dari contek-menyontek prilaku yang pernah ada. Bisa juga karena ada pembiaran terhadap perilaku yang mengarah pada kesalahan, sehingga yang salah menjadi kebiasaan. Para orang tua jangan berharap anaknya menjadi baik, jika orang tuanya sendiri belum menjadi baik. Sebenarnya nurani generasai ingin menghimbau “Jangan ajari kami selingkuh, jangan ajari kami ngomong jorok, tidak jujur, malas belajar, malas beribadah, terlalu mencintai harta belebihan dan lupa kepada Sang Pencipta, yaitu Allah.â€
Tulisan ini mencoba mengajak merenung bagi kita para orangtua, bahwa kenakalan tak selalu identik dengan remaja, tapi justru banyak kenakalan yang dilakukan oleh para orangtua (di rumah, di masyarakat, dan di pemerintahan) yang akhirnya juga menjadi inspirasi remaja untuk berbuat nakal. Menyedihkan memang! (sumber O. Solihin)
Kenakalan orangtua dalam ikatan keluarga
Contohnya seperti :
Suka berkata-kata kasar, suka menghujat atau memaki, mengajari anak untuk melakukan perlawanan ketika anak diganggu orang lain, suka menyakiti anak secara fisik dan psikis, merokok seenaknya di depan anak-anak, dl (masalah akhlak).
Mengabaikan pelaksanaan syariat, sholat misalnya, banyak juga kita orang tua yang mengabaikan sholat, melalaikan sholat, bahkan tidak pernah sholat, membiarkan anak-anak gadisnya tidak menutup aurat, membiarkan anak-anaknya bergaul bebas (pacaran), membiarkan anak-anaknya minum-minuman keras, dll.
Kenakalan orangtua di masyarakat
Contohnya seperti :
Menciptakan suasana yang tidak produktif (bapak-bapaknya), misalnya waktu pagi, siang dan malam suka nongkrong sambil main gaple, atau main catur, walau tidak pakai uang, ini sama saja artinya tidak menjaga kehormatan diri, apalagi kehormatan keluarganya (istri dan anak-anaknya)? Sedangkan yang ibu-ibunya suka ngumpul sambil berghibah atau memfitnah, menghambur-hamburkan uang dengan gaya hidup yang konsumtif yaitu belanja di mall atau supermarket, bergaya hidup mewah.
Menyediakan sarana kemaksiatan, ini misalnya, jadi bandar narkoba, jadi bandar judi, menyediakan tempat hiburan (diskotik).
Pendidik yang lalai, ini bisa kita lihat di sekolah atau di kampus, padahal lembaga pendidikan adalah tempat yang aman untuk menimba ilmu pengetahuan atau belajar, tapi kenyataannya banyak pendidik yang memberikan contoh yang tidak baik terhadap anak didiknya, misalnya melakukan perbuatan asusila, menganiaya anak didiknya secara fisik, menjual ilmu demi keuntungan materi atau sering melakukan dosa pendidikan.
Menjadi pemilik media massa (baik cetak maupun elektronik: koran, majalah, tabloid, radio, televisi, dan juga internet) yang ‘hobi’ menampilkan bacaan, gambar dan tontonan yang merusak akhlak (pornografi, kekerasan, dan seks bebas) yang berlindung atas nama bisnis.
Kenakalan orangtua di pemerintahan
Contohnya seperti :
Suka korupsi, mengambil kebijakan menaikkan biaya pendidikan, menaikkan harga BBM, mahalnya biaya kesehatan, suka membuat janji-janji tapi lalu melupakannya, suka melakukan pungli atau suap menyuap.
Suka melanggengkan kemaksiatan, memberi izin untuk usaha prostitusi/lokalisasi, perjudian, tempat diskotik, pabrik minuman keras, dengan dalih besar pemasukannya.
Menutup mata terhadap problem yang diakibatkan usaha prostitusi, perjudian, narkoba, peredaran minuman keras, diskotik, dll.
Menerapkan aturan kehidupan yang tidak benar dan tidak baik, yakni Kapitalisme-Sekularisme (termasuk juga Sosialisme-Komunisme).
Marilah kita uraikan satu persatu petuah atau nasihat-nasihat yang kita berikan sebagai orangtua kepada anak-anak kita padahal kita melakukan dan tidak melakukannya :
Kita melarang anak kita berbicara kasar, padahal kita sering berkata-kata kasar pada anak kita.
Kita melarang anak kita tawuran atau ringan tangan, padahal kita sering menganiaya mereka anak-anak kita secara fisik, kita suka berkelahi di depan anak-anak kita, suka adu jotos di forum terhormat gedung lembaga legislatif ketika bersidang karena merasa tidak sepaham, yang di saksikan anak-anak kita langsung lewat televisi.
Kita melarang anak kita berbohong atau jujur, padahal sudah berapa kebohongan yang kita ciptakan kepada anak-anak kita.
Kita melarang anak kita mengkonsumsi narkoba, padahal kita sendiri adalah pemakai dan bandar narkoba itu sendiri.
Kita melarang anak kita bergaul bebas atau pacaran, padahal kita sendiri juga melakukan hal yang sama bergaul bebas baik dilingkungan masyarakat, maupun lingkungan kantor yang terkenal dengan nama selingkuh.
Kita melarang anak-anak kita minum-minuman keras dan berjudi, padahal kita adalah bandar judi dan pemilik pabrik menuman keras serta peminum dan penjudi.
Kita melarang anak kita merokok, padahal dirikita sudah sering membakar uang, dengan merokok di depan mata mereka, dan kita juga menjual rokok dan pemilik pabrik rokok.
Kita marah ketika anak kita tidak sholat, atau beribadah, padahal kita suka melalaikan bahkan tidak menunaikan kewajiban sholat.
Kita menghimbau agar anak-anak kita jangan mengkonsumsi tayangan yang pornografi, padahal dirikita sering menonton tayangan, membaca, mengakses situs-situs porno tersebut, bahkan kitalah yang memiliki media cetak, penulis naskah, membeli media-media pornografi tersebut.
Kita melarang anak-anak kita untuk menonton televisi terus menerus, padahal kita pengkonsumsi paling utama siaran televisi sampai tidak tidur.
Kita sering menasehati anak-anak kita untuk tidak berghibah atau memfitnah oranglain, padahal dirikitalah yang suka berghibah dan memfitnah itu.
Kita marah ketika tahu anak-anak kita sering nongkrong dan keluar malam, padahal kita juga melakukan hal yang sama, terkadang waktu shubuh baru pulang ke rumah.
Kita menasehati anak kita agar rajin sekolah, tetapi kita juga malas bekerja, bahkan sering mangkir dari kantor.
Kita mengeluhkan mengapa anak kita malas membaca, padahal kita juga sangat jarang memiliki kebiasaan membaca.
Kita sering mengajari mereka anak-anak kita untuk tidak melawan kepada orangtuanya, padahal kita dulunya juga suka melawan orangtua kita.
Kita marah ketika tahu anak kita suka mencuri, padahal kita sering mencuri uang negara, atau sering mendapatkan rejeki yang tidak halal.
Dan banyak lagi kenakalan-kenakalan yang kita lakukan sebagai orangtua, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga kita tidak termasuk dan tidak pernah melakukan kenakalan seperti yang diuraikan diatas. Amin. Jadi apa yang salah dengan kenakalan anak atau remaja, tidakkah ia sangat berbanding lurus dengan kenalan kita sebagai orangtua? Wallahu’alam.
Sarjana dan Intelektualitas
Pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya.
Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat mendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Sebaliknya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi pada makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya sudah menjadi tujuan utama bangsa kita yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Upaya ini ditempuh melalui pendidikan nasional.
Dalam upaya mencerdaskan bangsa pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan manusia maka minimal ada tiga aspek yang harus ada dalam sebuah proses pendidikan. Pertama, Aspek iman, yang berorientasi pada proses pembentukan keyakinan manusia akan penciptanya (spiritualitas). Kedua, Aspek kognisi, yang berorientasi pada perubahan pola pikir (intelektualitas). Ketiga, Aspek affeksi, yang berorientasi pada perubahan sikap mental dan perilaku (mentalitas).
Dengan dimilikinya minimal tiga aspek dalam wacana pendidikan kita, maka seseorang yang berpendidikan dipandang sebagai seorang yang telah mengalami peningkatan iman, ilmu dan mental. Proses ilmu adalah garis vertikal yang mengarah ke atas, proses moral adalah garis akar ke dalam jiwa, sementara proses mental adalah garis horisontal. Semakin meninggi ilmu akan semakin mendalam garis moral, serta semakin melebar garis mental. Inilah yang disebut dialektika antara ilmu, mental dan moral pada proses kepribadian seseorang.
Meningkatnya ilmu pengetahuan semestinya akan membuat yang bersangkutan semakin lapang jiwanya, semakin luas bathinnya dan semakin arif kepribadiannya. Namun ternyata tidak selalu demikian. Seseorang yang lebih tinggi kapasitas pengetahuannya belum tentu lebih bijak dan arif perilakunya. Pada kenyataannya sering kita temui seorang yang lebih tinggi kedudukannya yang notabene lebih mapan kapasitas intelektualnya, lebih tinggi strata keilmuannya menjadi lebih picik pikirannya, tidak lebih arif kebijaksanaannya dan menjadi otoriter kekuasaannya. Kita selayaknya gelisah, untuk apa kita himpun informasi dan ilmu sebanyak ini kalau ia malah meningkatkan akses kita ke kemungkinan dosa, karena yang kita ketahui itu -karena sesuatu dan lain hal- tidak bisa atau terpaksa tidak kita kerjakan.
Minimal ada dua permasalahan mendasar pendidikan kita, yaitu Pendidikan Spiritual dan Pengangguran Terdidik. Pendidikan spiritual permasalahannya adalah tidak seimbangnya antara porsi pendidikan spiritual dengan pendidikan intelektual dan mental. Akibatnya bisa kita lihat dengan semakin mengakar mendaunnya budaya korupsi, manipulasi, monopoli, oligopoli, kolusi dan segala macam kejahatan birokrasi dinegeri ini. Jika dikorelasikan dengan tingkat pendidikannya, pelaku kejahatan tersebut bukanlah orang-orang yang bodoh. Dari kualitas kejahatannya tentu pelakunya bukan orang sembarangan, pastilah orang-orang pintar, pandai dan minimal pernah mengenyam persekolahan modern.
Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua yang semakin menjadi-jadi serta kejahatan fisik maupun moral bahkan gabungan keduanya semakin merajalela, merupakan bukti lemahnya kekuatan spiritual yang dimiliki sebagian masyarakat kita. Lemahnya kekuatan spiritual ini menjadikan masyarakat kita mudah putus asa dan cenderung menghalalkan segala cara demi kepentingan materi sesaat. Mereka tidak berpandangan jauh ke depan, dimana masa depan bukan berarti hanya masa dewasa dan masa tua tetapi menyangkut pula masa kematian dan masa pasca kematian. Dan yang cukup memprihatinkan adalah pendidikan kita belum mampu merubah sikap perilaku anak didik sesuai dengan target pendidikan yaitu mempertinggi budi pekerti dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Pengganguran terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius. Pengangguran ibarat hantu yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita. Tidak peduli bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan ataupun bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi. Masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan masalah pendidikan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin dewasa dan semakin mampu berfikir alternatif. Sehingga sangat menjadi sorotan dan ironis jika sang penganggur itu adalah sarjana (intelektual) dimana seharusnya ia sudah mampu berfikir alternatif. Pendidikan yang semula diharapkan mampu mengangkat status sosial tetapi malah menjadi beban dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan tak jarang para sarjana mengalami kegamangan dalam masyarakat.
Jika dicermati lebih lanjut jumlah pengangguran semakin tahun semakin meningkat, apalagi ditengah keterpurukan ekonomi seperti saat ini. Pola ini menjadi menarik untuk dikaji, karena sarjana yang seharusnya mampu berfikir alternatif untuk menjadikan dirinya mandiri ternyata tidak demikian adanya. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita belum mampu menjadi rahim yang melahirkan lulusan berjiwa enterpreneurship. Akibatnya mereka cenderung untuk mengandalkan lowongan pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja. Dunia pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk sarjana konsumtif tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan. Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada aspek / orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian ketika produk sarjana ini dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang produktif.
Simpul dari tulisan ini bahwa memang tidak ada jaminan bahwa berkembangnya kepribadian seseorang menjadi sarjana akan paralel dengan perkembangan kepribadian dan tingkat moralnya. Tidak ada jaminan bahwa membengkaknya jumlah sarjana berarti semakin terawat dan eksis pula nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk apa melakukan pengembaraan intelektual dan pergulatan pemikiran menjadi sarjana jika membuat jarak semakin jauh dengan Al-Khalik, Sang Pencipta ?. Ironisme yang memprihatinkan.
Menjawab ironisme tersebut diperlukan langkah sistematik dan konsisten dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang akan dikembangkan harus mampu mewadahi tiga dimensi dasar kehidupan manusia, yaitu dimensi ruhiyah (moralitas/spiritualitas/agama), dimensi fikriyah (intelektualitas) dan dimensi mental untuk dapat dimanage secara proporsional dan seimbang. Semoga dimasa yang akan datang semakin banyak dihasilkan sarjana-sarjana multidimensional, yaitu sarjana dengan kapasitas mental, moral dan intelektual. Wallahua’lam bishawab. ÿ
Masalah Pendidikan di Indonesia
Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
PENDIDIKAN GRATIS
Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
Pro Kontra Pendidikan Gratis
Dilihat dari perkembanganya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Kualitas Pendidikan vs Pendidikan Gratis
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Melihat kondisi diatas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya. ***
Tingkatkan Kualitas Guru dan Pendidikan !
Peran Guru
Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, kehadiran guru bagi peserta didik ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas tanpa membedakan siapa yang diterangi nya demikian pula terhadap peserta didik. Tetapi, dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok profesional. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didik.
Peran guru sebagai tenaga pendidik tidak hanya berhenti sebagai pemegang tonggak peradaban saja, melainkan juga sebagai rahim peradaban bagi kemajuan zaman. Karena dialah sosok yang berperan aktif dalam pentransferan ilmu dan pengetahuan bagi anak didiknya untuk dijadikan bekal yang sangat vital bagi dirinya kelak. Bahkan yang lebih penting disamping itu, mereka mampu mengembangkan dan memberdayakan manusia, untuk dicetak menjadi seorang yang berkarakter dan bermental baja, agar mereka tidak minder dalam meghadapi masalah dan dapat bersikap layaknya seorang ksatria.
Maka bagaimanapun juga peran seorang guru tidak dapat diremehkan di dalam bidang apapun, baik yang bersifat pendidikan maupun yang lainnya.Tetapi untuk mencari dan menjadi guru yang seperti itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan etos dan spirit perjuangan yang luar biasa. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Friedric Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf terkemuka abad postmodern. Dia menuturkan bahwa seorang guru sejati adalah mereka yang tidak memikirkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, kecuali muridnya. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang guru yang benar-benar patut dijadikan tauladan adalah mereka yang terfokus pada anak didiknya, demi tercapainya pencerahan. Karena bagaimanapun juga anak didik adalah cikal bakal maju mundurnya sebuah bangsa. Kemana bangsa ini akan diarahkan itu tergantung pada mereka.
Profesionalitas Guru
Namun masalah pelik yang sering kita hadapi selama ini adalah status guru tidak lagi diindahkan oleh pemegang status itu sendiri. Mereka menjadikan eksistensi guru sebagai profesi. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, banyak orang menjadi guru hanya sebagai alternatif atau pelampiasan (jalan keluar mencari nafkah) saja. Guru semacam inilah yang berbahaya, karena mereka tidak mampu membentuk karakter dan mencerdaskan anak didiknya, tetapi mereka malah justru cenderung menguras harta negara. Disamping itu, demi terisinya mata pelajaran, sekarang ini dari pihak sekolah sering kali salah kamar dalam menempatkan posisi guru sebagai pemegang mata pelajaran. Hal itu menjadi sebab utama rapuhnya pendidikan bangsa ini, karena kurangnya profesionalitas tenaga pengajar.
Tak dapat dipungkiri, benturan finansial seringkali menjadi masalah ketika para guru ingin mengembangkan aspek pengetahuan mereka. Terlebih aspek pengembangan karir dengan cara menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, sebagai seorang yang harus lebih pintar dan lebih pandai dari anak didik nya, mau tak mau cara ini harus ditempuh para guru. Dengan kata lain, meningkatkan profesionalisme itu memang harus diiringi dengan sekolah lanjutan setelah memiliki gelar sarjana ke pendidikan. Ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan seminar kependidikan, diskusi dengan pakar-pakar ilmu pengetahuan dan lain sebagainya termasuk cara untuk mencerdaskan diri di samping menuntut ilmu secara formal. Tentu saja kearifan dan kebijaksanaan dalam proses memenej penghasilan sangat dibutuhkan dalam rangka mempersiapkan pendanaan untuk mendapatkan pendidikan kelanjutan. Tidak sedikit para doktor, profesor atau sarjana lanjutan lainnya yang memenej keuangan mereka demikian rupa, sehingga mampu menyelesaikan pendidikan hingga akhirnya benar-benar tampil sebagai seorang pendidik yang memiliki profesi yang dibanggakan.
Setelah itu para guru akan lebih mempunyai peluang dan harapan untuk mendapatkan posisi tawar dalam berbagai aspek, yang akhirnya mendapatkan finansial yang lebih tinggi dari keberadaan mereka semula yang hanya mengandalkan kemampuan mengajar. Dukungan berbagai pihak memang memberikan peluang. Bila diperhatikan undang-undang, perhatian pemerintah yang memberikan dana finansial bagi para guru honor. Saat ini, berbagai peluang yang mengandalkan kemampuan untuk mendapatkan finansial tambahan sudah cukup banyak. Bagi mereka yang mampu menulis, media surat kabar, umumnya memberikan finansial bila tulisan mereka diterbitkan. Lembaga pendidikan kursus juga menunggu para pendidik yang ahli di bidangnya. Sehingga orang-orang yang profesional akan mengandalkan kemampuannya untuk mendapatkan finansial yang berdampak pada kesejahteraan hidup keluarganya.
Ingatlah, kemajuan zaman akan menggiring manusia yang profesional lebih memposisikan diri sesuai ilmu dan kemampuan mereka masing-masing. Jika tidak, semua orang akan tertinggal, terutama para guru.
Anak didik dengan orang tuanya yang mapan akan memilih sekolah dengan tingkat kecerdasan guru yang mereka anggap profesional pula. Lembaga pendidikan akan melakukan hal yang sama, memilih para guru yang profesional, karena finansial yang mereka berikan sama dengan tingkat pengetahuan dan kinerja para guru yang bakal menjadikan siswa mereka cerdas, mampu berkompetisi dan bisa bersaing dengan siswa lainnya dalam dan luar negeri. Jika tidak dari sekarang membenahi diri ke arah yang profesional kapan lagi.
Hari Guru selalu diperingati setiap tanggal 25 November, tapi sadarkah kita, setiap tahun ribuan pengetahuan baru bermunculan yang memerlukan keseriusan para guru untuk membahasnya. Jika guru yang ada tidak mengembangkan diri dengan harapan lebih profesional, apakah mungkin guru mampu mentransfer ilmu pengetahuan yang baru? Cakap, cerdas dan memiliki posisi tawar adalah ciri guru masa depan, yang selalu mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan dan inovasi, yang selalu ingin maju dari peserta didik nya. Anak didik menjadi insinyur, selayaknya guru-guru mereka menjadi doktor atau profesor.
Mengurangi masalah guru
Problem paling vital yang sedang merajalela di kalangan guru sekarang ini adalah kurangnya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat eksistensi guru, baik itu guru tetap, negeri, swasta maupun honor. Sekarang ini eksistensi guru swasta sangat memprihatinkan. Seolah-olah mereka adalah anak tiri yang lagi diterlantarkan oleh pemerintah. Hal tersebut diempiriskan oleh banyaknya sekolah-sekolah swasta yang tidak mampu untuk membiayai guru-gurunya, sehingga yang terjadi adalah berkurangnya kualitas guru, bahkan tidak menutup kemungkinan eksistensi sekolah itu akan berakhir dengan tragis dan memalukan.
Jika keanaktirian itu tidak segera diatasi, dan terus membayang-bayangi, maka yang terjadi adalah tidak layaknya keberlangsungan sebuah yayasan, karena selalu meresahkan masyarakat, dengan jalan menarik iuran sekolah terlalu tinggi, tidak mampu menghargai kinerja guru, dan yang teparah adalah ketidakmampuan memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak didik, dikarenakan kurangnya fasilitas-fasilitas sekolah yang harus dipenuhi.
Kesejahteraan guru dan filsafat pendidikan
Jika kita menginginkan perbal belajar mengajar di suatu kelas berjalan seperti yang kita harapkan, maka kita juga harus memperhatikan berbagai kondisi guru. Berapa pendapatannya, bagaimana kehidupanya, sejahterakah keluarganya, dan masih ada sederetan pertanyaan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Yang lebih pastinya, keutamaan kesejahteraan guru itu tidak hanya sebagai mutu hidupnya saja, tetapi lebih condong pada kualitas pendidikan yang diajarkan. Karena eksistensi guru sebagai manusia tidak mungkin lepas dari ketergantunganya kepada orang lain. Artinya, keberadaan guru sebagai manusia pasti mempunyai keluarga yang harus dicukupinya. Untuk mencukupinya itu pasti memerlukan sesuatu, termasuk uang. Jika kebutuhan itu sulit untuk dicapainya, maka secara otomatis konsentrasinya dalam belajar akan berkurang, dan hal ini berdampak pada kualitas pengajaranya yang berimbas pada murid.
Disamping kekonsentrasian seorang guru, filsafat pendidikan juga perlu dimilikinya, karena filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam peniddikan (Kneller, 1991). Masalah-masalah pendidikan tidak hanya cukup berdasarkan pengalaman, tetapi juga membutuhkan masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Diharuskannya bagi seorang pendidik untuk mengetahui filsafat pendidikan karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup.
Jika ditinjau dari filsafat pendidikan, ada tiga lapangan filsafat, yakni filsafat metafisika, epistemolagi dan aksiologi. Dengan filsafat epistemologi pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi pendidik memahami yang harus diperoleh warga belajar tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Hal yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, pengetahuan,dan apa yang perlu diketahui.
Langganan:
Postingan (Atom)